Monday, April 7, 2014

myasthenia gravis






MAKALAH
MEASTENIA GRAVIS



Description: logo.png
 








Disusun Oleh :
-          Wahyu Raharjo
-          Gita Triwidyatuti




STIKES MUHAMMADIYAH PEKAJANGAN
PEKALONGAN
2013

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam penyusunan makalah ini, terutama kami mengucapkan terima kasih.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih sangat banyak kekurangan baik dari segi materi, tata bahasa, maupun penyusunan. Dengan rendah hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang selanjutnya membangun untuk lebih menyempurnakan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.


                                                                                    Pekalongan, 10 April 2013




                                                                                                Penulis


                                                           






BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang  cukup berat di dalam terjadi kelelahan otot-otot secara cepat dengan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari normal). Miastenia gravis mempengaruhi sekitar 400 per 1 juta orang. Kelemahan otot yang parah yang menyebabkan oleh penyakit tersebut membawa sejumlah komplikasi lain, termasuk kesulitan bernapas kesulitan mengunyah dan menelan, bicara cadel, kelopak mata murung dan kabur atau penglihatan ganda.
Miastenia gravis dapat mempengaruhi orang-orang dari segala umur. Namun lebih sering terjadi pada para wanita, yaitu wanita berusia antara 20 dan 40 tahun. Pada laki-laki lebih dari 60 tahun. Dan jarang terjadi selama masa kanak-kanak.
Siapapun bisa mewarisi kecenderungan terhadap kelainan autoimun ini. Sekitar 65% orang yang mengalami miastenia gravis mengalami pembesaran kelenjar hymus, dan sekitar 10% memiliki tumor pada kelenjar thymus (thymoma). Sekitar setengah thymoma adalah kanker (malignant). Beberapa orang dengan gangguan tersebut tidak memiliki antibodi untuk reseptor acetylcholine tetapi memiliki antibodi terhadao enzim yang berhubungan dengan pembentukan persimpangan neuromuskular sebagai pengganti. Orang ini bisa memerlukan pengobatan berbeda.
Pada 40% orang dengan miastenia gravis, otot  mata terlebih dahulu terkena, tetapai 85% segera mengalami masalah ini. Pada 15% orang, hanya otot-otot mata yang terkena,, tetapi pada kebanyakan orang, kemudian seluruh tubuh terkena , kesulitan berbicara, dan menelan dan kelemahan pada lengan dan kaki serimg terjadi. Pegangan tangan bisa berubah-ubah antara lemah dan normal. Otot leher bisa menjadi lemah. Sensasi tidak terpengaruh.
Ketika orang dengan miastenia gravis menggunakan otot secara berulang-ulang, otot tersebut biasanya menjadi lemah. Misalnya, orang yang dahulu bisa menggunakan palu dengan baik menjadi lemah setelah memalu untuk beberapa menit. Meskipun begitu, kelemahan otot bervariasi dalam intensitas dari jam ke jam dan dari hari ke hari, dan rnagkaian peyakit tersebur bervariasi secara luas. Sekitar 15% orang mengalami peristiwa berat (disebut miastenia crisis), kadangkala dipicu oleh infeksi. Lengan dan kaki sangat lemah. Pada beberapa orang, otot diperlukan untuk pernapasan yang melemah . keadaan ini dapat mengancam nyawa.

B.     Tujuan umum :
1.      Menjelaskan konsep dan proses keperawata miastenia gravis
Tujuan khusus :
1.      Mengetahui definisi miastenia gravis
2.      Mengetahui etiologi miastenia gravis
3.      Mengetahui patofiologi miastenia gravis
4.      Mengetahui manivestasi klinis miastenia gravis
5.      Mengetahui pemeriksaan diagnostik miastenia gravis
6.      Mengetahui komplikasi miastenia gravis
7.      Mengetahui penatalaksanaan miastenia gravis
8.      Mengetahui asuhan keperawatan miastenia gravis

C.     Manfaat :
1.      Mahasiswa mampu dan mengerti tentang meastenia gravis
2.      Mahasiswa mampu menerapkan asuhan keperawatan pada pasien miastenia gravis


















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    DEFINISI
            Miastenia gravis merupakan bagian dari penyakit neuromuskular. Miastenia gravis adalah gangguan yang memengaruhi transmisi neuromuskular pada otot tubuh yang kerjanyaa di bawah kesadaran seseorang (volunter). Miastenia gravis merupakan kelemahan otot yang parah dan satu-satunya dengan penyakit neuromuskular dengan gabungan antara cepatnya terjadi kelelahan otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10-20 kali lebbih lama dari normal). (Price dan Wilson, 1995).
            Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter yang dipengaruhi oleh saraf kranial. Serangan dapat terjadi pada beberapa usia, ini terlihat paling sering pada wanita antara 15-35 tahun dan pada laki-laki sampai 40 tahun.
B.     ETIOLOGI
Penyebab dari miastenia gravis yaitu :
1.      Autoimun : direct mediated antibody
2.      Virus
3.      Pembedahan
4.      Stres
5.      Alkohol
6.      Tumor mediastinum
7.      Obat-obatan :
a)      Antibiotik (Aminoglycosides, ciprofloxacin, ampicillin, erythromycin)
b)      B-blocker (propanolol)
c)      Lithium
d)     Magnesium
e)      Procainamide
f)       Verapamil
g)      Chloroquine
h)      Prednisone

C.     PATOFISIOLOGI
Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline Receptor (AChR). Kondisi ini mengakibakan  Acetyl Choline(ACh)  yang tetap dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju membran post-synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada jumlah normal akan mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan oleh impuls tertentu. inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit pada pasien. 
Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya disebabkan karena proses auto-immun di dalam tubuh yang memproduksi anti-AChR bodies, yang dapat memblok AChR dan merusak membran post-synaptic. Menurut Shah pada tahun 2006, anti-AChR bodies ditemukan pada 80%-90% pasien Myasthenia Gravis. Percobaan lainnya, yaitu penyuntikan mencit dengan Immunoglobulin G (IgG) dari pasien penderita Myasthenia Gravis dapat mengakibatkan gejala-gejala Myasthenic pada mencit tersebut, ini menujukkan bahwa faktor immunologis memainkan peranan penting dalam etiology penyakit ini.
Alasan mengapa pada penderita Myasthenia Gravis, tubuh menjadi kehilangan toleransi terhadap AChR sampai saat ini masih belum diketahui. Sampai saat ini, Myasthenia Gravis dianggap sebagai penyakit yang disebabkan oleh sel B, karena sel B lah yang memproduksi anti-AChR bodies. Namun, penemuan baru menunjukkan bahwa sel T yang diproduksi oleh Thymus, memiliki peranan penting pada patofisiologis penyakit Myasthenia Gravis. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya penderita Myasthenic mengalami hiperplasia thymic dan thymoma.

D.    MANIFESTASI KLINIS
1.      Kelemahan otot mata dan wajah (hampir selalu ditemukan)
a)      Ptosis
b)      Diplobia
c)      Otot mimik
2.      Kelemahan otot bulbar
a)      Otot-otot lidah
·         Suara nasal, regurgitasi nasal
·         Kesulitan dalam mengunyah
·         Kelemahan rahang yang berat dapat menyebebkan rahang terbuka
·         Kesulitan menelan dan aspirasi dapat terjadi dengan cairan batuk dan tercekik saat minum
b)      Otot-otot leher
·         Otot-otot fleksor leher lebih terpengaruh daripada otot-otot ekstensor
3.      Kelemahan otot anggota gerak
4.      Kelemahan otot pernapasan
a)      Kelemahan otot interkostal dan difragma menyebabkan retensi CO2.
Hipoventilasi menyebabkan kedaruratan neuromuskular.
b)      Kelemahan otot faring dapat menyebabkan gagal saluran napas atas.

E.     KLASIFIKASI
Klasifikasi Myasthenia Gravis berdasarkan The Medical Scientific Advisory Board (MSAB) of the Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) :
·         Class I          : Kelemahan otot okular dan gangguan menutup mata, otot lain masih normal
·         Class II         : Kelemahan ringan pada otot selain okular, otot okular meningkat kelemahannya
·         Class IIA      : Mempengaruhi ekstrimitas, sedikit mempengaruhi otot-otot oropharyngeal
·         Class IIb       : Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan, juga mempengaruhi ekstrimitas
·         Class III       : Kelemahan sedang pada otot selain okuler, meningkatnya kelemahan pada otot okuler
·         Class IIIa     : Mempengaruhi ektrimitas sedikit mempengaruhi otot-otot oropharyngeal
·         Class IIIb     : Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan, juga mempengaruhi ekstrimitas
·         Class IV       : Kelemahan berat pada selain otot okuler, kelemahan berat pada otot okuler
  • Class IVa : Mempengaruhi ekstrimitas, sedikit pengaruh pada otot-otot oropharyngeal
  • Class IVb       : Terutama mempengaruhi otot-otot pernapasan dan oropharyngeal, juga mempengruhi otot-otot ekstrimitas
  • Class V           : Pasien yang membutuhkan intubasi (kecuali pada kasus post-operative
F.      KOMPLIKASI
1.      Miatenia crisis atau cholinergic crisis akibat terapi yang tidak diawasi
2.      Pneumonia
3.      Bollous Death
Faktor-faktor yang dapat memicu komplikasi pada pasien termasuk riwayat penyakit sebelumnya (misalnya, infeksi virus pada pernapasan), pasca operasi, pemakaian kortikosteroid yang lenyap secara cepat, aktivitas berlebih (terutama pada cuaca yang panas), kehamilan, dan stress emosional (Widagdo, 2007).

G.    PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1.      Laboratorium
-          Anti-acetylcholine reseptor antibody
§  85% pada miastenia umum
§  60% pada pasien miastenia okuler
-          Anti-striated muscle
§  Pada 84% pasien dengan timoma dengan usia kurang dari 40 tahun
-          Interleukin-2 reseptor
§  Meningkat pada MG
§  Peningkatan berhubungan dengan progrsifitas penyakit
2.      Imaging
-          X-ray thoraks
§  Foto polos posisi AP dan lateral dapat mengidentifikasi timomasebagai massa mediatinum anterior.
-          CT scan thoraks
§  Identifikasi timoma
-          MRI otak dan orbita
§  Menyingkirkan penyebab lain defisit Nn. Cranialies, tidak digunakan secara rutin.
3.      Pemeriksaan klinis
-          Menatap tanpa kedip pada suatu benda yang terletak di atas bidang kedua mata selama 30 detik, akan terjadi ptosis.
-          Melirik ke samping terus menerus akan terjadi diplopia.
-          Menghitung atau membaca keras-keras selama tiga menit akan terjadi pita suara atau suara hilang.
-          Tes untuk otot leher dengan mengangkat kepala selama 1 menit dalam posisi berbaring.
-          Tes exercise untuk otot ekstermitas, dengan mempertahankan posisi saat mengangkat kaki dengan sudut 450 pada posisi tidur terlentang 3 menit, atau duduk-berdiri 20-30 kali. Jalan di atas tumit atau jari 30 langkah , tes tidur-bangkit 5-10 kali.
4.      Tes tensilon (edrophonium chloride)
-          Suntikan tensilon 10 mg (1 ml) iv, secara bertahap. Mula-mula 2 mg atau bila perbaikan (-) dalam 45 dtk, berikan 3 mg lagi atau bila perbaikan (-), beri 5 mg lagi. Efek tensilon akan berakhir 4-5 menit.
-          Efek samping : ventrikel fibrilasi dan henti jantung.
5.      Tes kolinergik
6.      Tes prostigmin (neostigmin) :
-          Injeksi prostigmin 1,5 mg im.
-          Dapat ditambahkan atropin untuk mengurangi efek muskariniknyaseperti neusea, vomitus, berkeringat. Perbaikan terjadi pada 10-15 menit, mencapai puncak dalam 30 menit, berakhir dalam 2-3 jam.
7.      Pemeriksaan EMNG
-          Pada stimulasi berulang 3 Hz terdapat penurunan amplitudo (decrement respons) > 10% antara stimulasi I dan V. MG ringan penurunan mencapai 50%. MG sedang sampai berat dapat sampai 80%.
8.      Pemeriksaan antibodi AchR
Antibodi AchR ditemukan pada 85-90% penderita MG generalisata, dan 0% MG okular. Kadar ini tidak berkolerasi dengan beratnya penyakit.
9.      Evaluasi timus
-          Sekitar 75% penderita MG didapatkan timus yang abnomal, terbanyak berupa hiperplasia, sedangkan 15% timoma. Adanya timoma dapat dilihat dengan CT scan mediastinum, tetapi pada timus hiperplasia hasil CT scan sering normal.
10.  Diagnosis bandng :
Sindroma Eaton-Lambert :
-          Sering terjadi bersamaan dengan small cell Ca dari paru.
-          Lesi terjadi di membran presinaptik dimana ‘release’ Ach tidak dapat berlangsung dengan baik
Botulism
-          Penyebab : neurotoksin dari Clostridium botulinum, yang dapat masuk melalui makanan yang terkontaminasi.
-          Dengan cara menghambat atau menghalang-halangi pelepasan Ach dari ujung terminal akson persinaptik.
11.  Pengobatan
§  Mestinon
§  Antikolinesterase : menghambat dkstruksi Ach
-          Piridostigmin bromide (Mestinon, regonol). Dosis awal 30-60 mg tiap 6-8 jam atau setiap 3-4 jam. Dosis optimal bervariasi tergantung kebutuhan mulai 30-120 mg setiap 4 jam. Bila > 120 mg tiap 3 jam dapat menimbulkan krisis kolinergik (dispneu, miosis, lakrimasi, hipersalivasi, emesi, diare).
-           
H.    PENATAKSANAAN MEDIS
Pengobatan medis dengan obat antikolinesterase adalah terapi terpilih untuk menetralkan gejala Myastenia Gravis. Neostigmin menon-aktifkan atau merusak kolinesterase sehingga asetilkolin tidak cepat rusak. Efeknya adalah pemulihan aktivitas otot mendekati normal, paling tidak 80% hingga 90% dari kekuatan atau daya tahan otot sebelumnya. Selain neotigmin (prostigmin), pridostigmin (mestinon), dan ambenonium (mytelase), digunakan juga analog sintetik lain dari obat awal yang digunakan yaitu fisostigmin (eserine). Efek samping dalam traktus GI yang tidak disenangi (kejang perut, diare) disebut efek samping muskarinik. Pasien harus menyadari bahwa gejala-gejala ini menandakan sudah terlalu banyak obat yang diminum setiap hari sehingga dosis selanjutnya harus diturunkan untuk mencegah terjadinya krisis kolinergik. Neostigmin paling cenderung menyebabkan efek muskarinik, maka awalnya dapat diterangkan pada pasien untuk berhati-hati terhadap efek samping yang nyata. Piridostigmin tersedia dalam bentuk yang berjangka waktu dan sering digunakan sebelum tidur sehingga pasien dapat tidur sepanjang malam tanpa harus bangun untuk minum obat (Price, 2005).
Efek pengendalian Myastenia Gravis jangka panjang menyebabkan pasien memiliki dua pilihan terapi dasar. Pilihan pertama adalah obat imunosupresif, yang semuanya memiliki indeks terapi rendah (rasio dosis toksik terhadap dosis terapi). Terapi kortikosteroid menyebabkan perbaikan klinis pada banyak pasien, walaupun banyak efek samping serius terjadi akibat penggunaan jangka panjang.
Beberapa pasien berespons baik terhadap regimen kombinasi antara kortikosteroid dan piridostigmin. Azatrioprin (yaitu suatu obat imunosupresif) telah digunakan dan memiliki hasil yang baik: efek sampingnya ringan jika dibandingkan dengan akibat kortikosteroid, dan terutama terdiri dari gangguan GI, peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Pertukaran plasma mungkin efektif dalam krisis miastenia karena mampu memindahkan antibodi ke reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat dalam penanganan penyakit kronik.
Pilihan pengobatan jangka panjang kedua adalah bedah toraks mayor untuk mengangkat kelenjar timus (timektomi). Sekitar 15% penderita Myastenia Gravis memliki tumor atau hiperplastia kelenjar timus yang disebut timoma. Timus terlibat dalam perkembangan sistem imun sehingga pengangkatan kelenjar bersifat kuratif bagi beberapa pasien. Keputusan untuk melakukan timektomi dibuat berdasarkan pasien tersebut, karena keuntungan timektomi dalam mengurangi gejala tidak sebesar pada pasien usia tua atau yang telah menderita Myastenia Gravis lebih dari 5 tahun. Sekitar 30% penderita Myastenia Gravis tanpa timoma yang menjalani timektomi pada akhirya mengalami remisi bebas-pengobatan. 50% yang lain mengalami perbaikan nyata (Price, 2005).

I.       PENGKAJIAN
-          Identitas klien : Meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, status
-          Keluhan utama : Kelemahan otot
-          Riwayat kesehatan : Diagnosa miastenia didasarkan pada riwayat dan presentasi klinis. Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan pemulihan kekuatan parsial setelah istirahat sangatlah menunjukkan myastenia gravis, pasien mungkin mengeluh kelemahan setelah melakukan pekerjaan fisik yang sederhana . riwayat adanya jatuhnya kelopak mata pada pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga bukti tentang kelemahan otot.
1.  B1 (Breathing)
Pengkajian pada sistem pernafasan yaitu inspeksi apakah klien mengalami kemampuan atau penurunan batuk efektif, produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan sering didapatkan pada klien yang disertai adanya kelemahan otot-otot pernapasan. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronchi atau stridor pada klien menandakan adanya akumulasi sekret pada jalan napas daHn penurunan kemampuan otot-otot pernapasan.
2.  B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular terutama dilakukan untuk memantau perkembangan status kardiovaskular, terutama denyut nadi dan tekanan darah yang secara progresif akan berubah sesuai dengan kondisi tidak membaiknya status pernapasan.
3.  B3 (Brain)
Pengkajian terutama ditujukan dengan kelemahan otot  ekstra okular yang menyebabkan palsi ocular, jatuhnya kelopak mata atau dislopia intermien, bicara klien mungkin disatrik.
4.  B4 (Bladder)
Pengkajian terutama ditujukan pada sistem perkemihan. Biasanya terjadi kondisi dimana fungsi kandung kemih menurun, retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih.
5.  B5 (Bowel)
Pengkajian terutama ditunjukkan dengan kesulitan  menelan, mengunyah, disfagia kelemahan otot diafragma dan peristaltik usus turun. 
6.  B6 (Bone)
Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui adanya gangguan aktifitas atau mobilitas fisik, kelemahan otot yang berlebihan.

J.       DIAGNOSA
Berdasarkan data pengkajian, diagnosa keperawatan meliputi hal berikut :
a)      Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan.
b)      Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kelemahan fisik umum, keletihan.
c)       Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia, gangguan pengucapan kata, gangguan neuromuskular, kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral.
d)     Gangguan citra diri berhubungan dengan ptosis, ketidakmampuan komunikasi verbal

K.    INTERVENSI
Diagnosa 1
Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan
Tujuan :  Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam pola napas klien kembali efektif.
Kriteria Hasil :
a)      Irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalam batas normal 16-20x/menit.
b)      Bunyi nafas terdengar jelas.
c)      Respirator terpasang dengan optimal.

           Intervensi
            Rasional
a)      Kaji tingkat kemampuan ventilasi: frekuensi pernapasan, kedalaman, dan bunyi nafas, pantau hasil tes fungsi paru-paru (volume tidal, kapasitas vital, kekuatan inspirasi).

b)      Kaji kualitas, frekuensi, dan kedalaman pernapasan, laporkan setiap perubahan yang terjadi.

c)      Baringkan klien dalam posisi yang nyaman dalam posisi duduk


d)     Observasi tanda-tanda vital yaitu tekanan darah, nadi, pernafasan dan suhu.

a)    Untuk klien dengan penurunan kapasitas ventilasi, perawat (mengkaji) dengan interval yang sering dalam mendeteksi masalah pau-paru, sebelum perubahan kadar gas darah arteri dan sebelum tampak gejala klinik.


b)   Dengan mengkaji kualitas, frekuensi, dan kedalaman pernapasan, kita dapat mengetahui sejauh mana perubahan kondisi klien.

a)    Penurunan diafragma memperluas daerah dada sehingga ekspansi paru bisa maksimal. Peningkatan RR dan takikardi merupakan indikasi adanya penurunan fungsi paru.
d)           Peningkatan RR dan takikardi merupakan indikasi adanya penurunan fungsi paru, Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian oksigen 3 liter, Mencegah terjadinya hipoksia.











Diagnosa 2 :
Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kelemahan fisik umum, keletihan.
Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam aktivitas sehari-hari kembali normal.
Kriteria Hasil
a.    Frekuensi nafas 16-20 x/menit,
b.    Frekuensi nadi 70-90x/menit,
c.    Kemampuan batuk efektif dapat optimal,
d.   Tidak ada tanda peningkatan suhu tubuh.
          Intervensi
       Rasional 
a)    Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktivitas
b)   Atur cara beraktivitas klien sesuai kemampuan.

c)              Evaluasi kemampuan aktivitas motorik.

a)     Menjadi data dasar dalam melakukan intervensi selanjutnya
b)    Sasaran klien adalah memperbaiki kekuatan dan daya tahan.

c)     Menjadi partisipan dalam pengobatan.

Diagnosa 3 :
Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia, gangguan pengucapan kata, gangguan neuromuskular, kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral.
Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi, mampu mengekspresikan perasaannya, mampu menggunakan bahasa isyarat.
Kriteria Hasil
a.       Terciptanya suatu komunikasi dimana kebutuhan klien dapat dipenuhi
b.      Klien mampu merespons setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat
                          Intervensi
                 Rasional
a)    Kaji komunikasi verbal klien.



b)   Lakukan metode komunikasi yang baik sesuai dengan kondisi klien.









c)    Beri peringatan bahwa klien di ruang ini mengalami gangguan berbicara, sediakan bel khusus bila perlu.
d)       Ucapkan langsung kepada klien dengan berbicara pelan dan tenang, gunakan pertanyaan dengan jawaban ”ya” atau ”tidak” dan perhatikan respon klien.
e)        Kolaborasi dengan konsultasi keahli terapi bicara.

a)        Kelemahan otot-otot bicara klien krisis Myastenia Gravis dapat berakibat pada komunikasi.

b)    Teknik untuk meningkatkan komunikasi meliputi mendengarkan klien, mengulangi apa yang mereka coba komunikasikan dengan jelas dan membuktikan yang diinformasikan, berbicara dengan klien terhadap kedipan mata mereka dan atau goyangkan jari-jari tangan atau kaki untuk menjawab ya/ tidak. Setelah periode krisis klien selalu mampu mengenal kebutuhan mereka.

c)     Untuk kenyamanan yang berhubungan dengan ketidakmampuan komunikasi.

d)   Mengurangi kebingungan atau kecemasan terhadap banyaknya informasi. Memajukan stimulasi komunikasi ingatan dan kata-kata.

e)    Mengkaji kemampuan verbal individual, sensorik, dan motorik, serta fungsi kognitif untuk mengidentifikasi defisit dan kebutuhan terapi.

Diagnosa 4
Gangguan citra diri berhubungan dengan ptosis, ketidakmampuan komunikasi verbal.
Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam citra diri klien meningkat.
Kriteria Hasil
a.       Mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang terdekat tentang situasi dan perubahan yang sedang terjadi
b.      Mampu menyatakan penerimaan diri terhadap situasi
c.       Mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam kosep diri dengan cara yang akurat tanpa harga diri yang negatif.
             Intervensi
                  Rasional  

a)         Kaji perubahan dari gangguan persepsi dan hubungan dengan derajat ketidakmampuan.
b)         Identifikasi arti dari kehilangan atau disfungsi pada klien.




c)         Membantu meningkatkan perasaan hargadiri dan mengontrol lebih dari satu area kehidupan.
d)        Anjurkan orang yang terdekat untuk mengizinkan klien melakukan hal untuk dirinya sebanyak-banyaknya.

e)         Kolaborasi dengan ahli neuropsikologi dan konseling bila ada indikasi.

a)   Menentukan bantuan individual dalam menyusun rencana perawatan atau pemilihan intervensi.
b)   Beberapa klien dapat menerima dan mengatur beberapa fungsi secara efektif dengan sedikit penyesuaian diri, sedangkan yang lain mempunyai kesulitan membandingkan mengenal dan mengatur kekurangan.
c)   Membantu meningkatkan perasaan hargadiri dan mengontrol lebih dari satu area kehidupan.
d)  Menghidupkan kembali perasaan kemandirian dan membantu perkembangan harga diri serta mempengaruhi proses rehabilitasi.
e)   untuk perkembangan perasaan. Dapat memfasilitasi perubahan peran yang penting








BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Myastenia Gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction. Gangguan tersebut akan mempengaruhi transmisi neuromuscular pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang (volunter).
            Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria. Rasio perbandingan wanita dan pria yang menderita Myastenia Gravis adalah 3 : 1. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 20 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 40 tahun. Pada anak, prognosis sangat bervariasi tetapi relatif lebih baik daripada orang dewasa.
Secara garis besar, pengobatan Myastenia Gravis berdasarkan 3 prinsip, yaitu:
1.      Mempengaruhi transmisi neuromuskuler
2.      Mempengaruhi proses imunologik
3.      Penyesuaian penderita terhadap kelemahan otot.

B.     KRITIK DAN SARAN
Kelompok  kami  menyarankan, khususnya pada  semua mahasiswa disarankan untuk mengetahui dan memahami tentang Myestenia Gravis, sehingga mahasiswa dapat mengerti tentang Myastenia Gravis dan dapat menghindari penyebab-penyebab dari Myastenia Gravis, mengetahui tanda dan gejala dari Myastenia Gravis untuk mencegah terjadinya Myastenia Gravis. Lebih memahami komplikasi yang ditimbulkan dari Myastenia Gravis dan mahasiswa diharapkan dapat lebih menggunakan waktu sebaik-baiknya.






 DAFTAR PUSTAKA
Baughman, D. (2000). Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku. Jakarta: EGC
Chang, E. (2009). Patofisiologi: Aplikasi pada Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC
Doenges, M. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan    Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC
          Price, S. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC
          Setiadi. (2007). Anatomi dan Fisiologi Manusia. Yogyakarta: Graha Ilmu
          Tucker, S. et al. (2007). Standar Keperawatan Pasien: Perencanaan Kolaboratif dan         Intervensi Keperawatan. Jakarta: EGC
Widagdo, et al. (2007). Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem          Persarafan. Jakarta: TIM











No comments:

Post a Comment