Monday, April 7, 2014

MULTIPEL SKLEROSIS








MAKALAH SISTEM NEUROBEHAVIOR
“MULTIPEL SKLEROSIS”




 











SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH PEKAJANGAN-PEKALONGAN
2011


KONSEP TEORI


A.    Definisi
Multipel sklerosis adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan respon imun yang di mediasi sel dan respon imun humoral dengan antibodi dan sel T yang diaktivasi, yang keduanya diproduksi melawan antigen sendiri.(elizabeth j corwin; hal :263)
Multipel slerosis merupakan gangguan yang dalam bentuk paling khasnya ditandai oleh lesi pada SSP yang terpisah dalam hal waktu dan lokasi. (lionel Ginsberg ;hal143)
Multiple sklerosis merupakan keadaan kronis, penyakit sistem saraf pusat degeratif di karakteristikan oleh adanya bercak kecil demielinasi pada otak kecildan medulla spinalis.  Demielinasi menunjukkan kerusakan myelin, adanya material lunak dan protein di sekitar. (bunner & suddarth; hal: 2182)


B.     Etiologi
Penyebab multiple sklerosis saat ini adalah agen lingkungan, misalnya virus, memicu kondisi pada individu yang rentan secara genetic.
            Peran mekanisme imun pada pathogenesis sklerosis multiple didukung beberapa temuan, seperti adanya sel inflamasi kronik pada plak aktif dan hubungan kondisi ini dengan gen spesifik pada kompleks histokompabilitas mayor (major histocompability, MHC). Banyak gangguan autoimun yang ternyata berhubungan dengan kelompok agen ini.
            Hubungan  dengan MHC merupakan salah satu bukti pengaruh komponen genetic dalam etiologi multiple sklerosis, begitu pula adanya kasus pada keluarga. Dan temuan peningkatan kejadian pada kasus kembar identik (monozigot) dibandingkan kembar non identik (dizigot). Akan tetapi , belum ditemukan gen tunggal yang penting untuk terjadinya multiple sklerosis.                                        (lionel gisberg, neurologi, hal :143) 

C.    Patofisiologi
Penyakit ini terutama mengenai subtansia alba otak dan medulla spinalis, serta nervus optikus. Ditemukan sel inflamasi kronik dan kerusakan myelin dengan akson yang relative masih baik. Pada subtansia alba terdapat area yang relative tampak normal yang berselang-seling dengan focus inflamasi dan demielinasi yang disebut juga plak. Yang seringkali terletak dekat venula. Demielinasi inflamasi jalur SSP menyebabkan penurunan dan gangguan kecepatan hantar saraf dan akhirnya hilangnya penghantaran informasi oleh jaras tertentu.
Plak inflamasi akan mengalami evolusi seiring dengan waktu. Pada tahap awal terjadi perombakan lokal sawar darah-otak. Diikuti inflamasi dengan edema, hilangnya myelin dan akhirnya jaringan parut SSP yaitu gliosis. Hasil akhir akan menyebabkan area sklerosis yang mengerut, yang berkaitan dengan deficit klinis minimal dibandingkan saat plak masih aktif. Hal ini sebagian disebabkan oleh remielinasi yang merupakan potensi SSP, dan juga memperjelas kembalinya fungsi dengan resolusi inflamasi dan edema. Keadaan patologis ini berhubungan dengan pola klinis relaps sklerosis multiple, yaitu terjadi gejala untuk suatu periode tertentu yang selanjutnya membaik secara parsial atau total. Lesi inflamasi lebih lanjut yang terletak dekat lokasi kerusakan yang sudah ada sebelumnya akan menyebabkan akumulasi deficit neurologis. Plak tidak harus berhubungan dengan kejadian klinis spesifik, misalnya jika plak hanya kecil dan terletak pada area SSP yang relative tenang.                             (lionel gisberg, neurologi, hal :143)             
D.    Manifestasi klinis
Tanda-tanda dan gejala-gejala beragam dan banyak, mencerminkan  letak lesi atau kombinasi lesi.
Ø  Gejala-gejala utama yang ditunjukkan adalah keletihan, kelemahan, dan penurunan keseimbangan.
Ø  Gangguan penglihatan: penglihatan tak jelas, bercak mata(skotoma), atau mungkin terjadi kebutaan total.
Ø  Kelemahan ekstermitas spastic dan kehilangan reflex abdomen
Ø  Disfungsi sensori
Ø  Masalah kognitif dan psikososial
Ø  Ketidakmantapan emosional dan euphoria
Ø  Ataksia dan tremor
Ø  Masalah-masalah kandung kemih, usus dan seksual
(KMB : brunner & suddart :hal 521)


E.    Klasifikasi
Cara kerja penyakit MS tidak terduga, Bagi sebagian orang, penyakit ini hanya sedikit mengganggu, sedangkan yang lain mengalami perburukan yang cepat hingga membuatnya sama sekali  tidak berdaya, dan sebagian yang lain berada diantara dua kondisi ekstrem tersebut.
Walaupun setiap individu mengalami kombinasi kondisi gejala MS yang berbeda tetapi kita dapat mengklasifikasikan  MS menjadi beberapa tipe/jenis yaitu:
a.       Relapsing –remiting MS (MS hilang-timbul /kekambuhan )
Pada MS jenis ini, terjadi beberapa kali
kekambuhan(serangan) yang tidak terduga. Serangan ini berlangsung dalam waktu yang bervariasi (dalam hitungan hari/bulan ) dan dapat pilih secara parsial atau total. Jenis ini dapat bersifat  “tidak aktif” selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Frekuensi kurang lebih 25% .
b.      Benign MS (multiple sklerosis jinak)
Setelah satu atau dua kali seranngan dan kemudian pulih total, MS jenis ini tidak mengalami perburukan dan tidak timbul kecacatan permanen . MS jinak hanya dapat diidentifikasikan ketika adanya serangan ringan yang timbul  pada masa 10-15tahun setelah seranagan dan pada awalnya dapat di kategorikan serbagai MS hilang-timbul. MS jinak cenderungn berhubunagn dengan gejala-gejala yang tidak parah ketika terjadinya serangan (contohnya pada pasien sensorik) frekuensi kurang lebih 20%.
c.       Secondary progressive MS (MS progesif sekunder)
Bagi beberapa orang yang pada awalnya mengalami MS hilang-timbul, dalam perjalanan penyakkitnya ada bentuk perkembangan lebih lanjut yang mengarah pada ketidkmampuan yang bersifat progresif , dan seringkali disertai kekambuhan terus menerus , frekuensi kurang lebih 40%.
d.      Primary progressive MS (MS progresiv primer)
MS jenis ini ditandai tidak adanya seranagn yang parah, tetapi ada serangan-serangan kecil dengan gejala-gejala yang terus memburuk secara nyata. Terjadi satu akumulasi perburukan dan ketidakmampuan yang dapat membawa penderita pada tingkat yang semakin rendah atau terus berlanjut hingga berbulan-bulan atau bertahun-tahun, frekuensi kurang lebih 15%.
(http: msandme.multiply.com/ journal/item/1)

F.     Komplikasi
à        Defisit neurologi berat yang menckup hilangnya penglihatan, peningkatan keletihan, dan deteriorasi intelektual dapat terjadi pada proses penyakit
à        Depresi, kehilangan dukungan social stress keluarga dan pasangan, dan masalah financial biasa terjadi.
(elizabeth j corwin;hal:262)

G.    Pemeriksaan penunjang
1.      MRI otak dan medulla spinalis yang dapat menunjukkan lesi plak demielinasi.
2.      Potensial bangkitan visual, yang dapat menunjukkan perlambatan konduksi sentral jalur visual, misalnya akibat neuritis optic subklinis sebelumnya.
3.      Pemeriksaan cairan serebrospinal, yang dapat menunjukkan perubahan nonspesisfik  termasuk limfositosis dengan penyakit aktif, dan peningkatan protein.
(lionel ginsberg ; hal:146) 

H.    Penatalaksaan
1.      Terapi imunosupresan agresif pada permulaan penyakit dan pada seiap eksaserbasi dapat membatasi kerusakan autoimun neuro atau myelin.
2.      Obat antivirus  dapat memperlambat perkembangan penyakit.
3.      Penyuluhan tentang latihan kandung kemih, fungsi seksual, dan menghindari, komplikasi yang berkaitan dengan penurunan  mobilitas, dapat meningkatkan kepuasaan gaya hidup dan kesehatan secara keseluruhan.
4.      Penyuluhan mengenai perlunya menghindari keletihan kronis dan suhu tinggi dapat mengurangi gejala.
5.      Terapi obat inovatif  diujicobakan yang  ditujukan untuk meningkatkan toleransi diri antigenic dengan memberikan protein myelin untuk ingesti.
(elizabeth j corwin;hal:263)



I.       ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
Pengkajian keperawatan menunjukkan masalah yang actual dan resiko berkaitan dengan penyakit yang mencakup masalah neurologis, komplikasi sekunder dan pengaruh penyakit terhadap klien dan keluarga. Gerakan dan kemampuan berjalan klien diobservasi untuk menentukan apakah ada kemungkinan resiko jatuh. Pengkajian fungsi dilakukan baik ketika klien cukup istirahat dan ketika mengalami keletihan, perlu dikaji untuk adanya kelemahan,spasitisitas, kerusakan penglihatan, dan inkontinensia.

1.      Anamnesis
Identitas klien meliputi nama, umur (lebih sering pada kelompok dewasa muda, antara 18-40 tahun), jenis kelamin (lebih sering menyerang wanita dibandingkan dengan pria), pendidikan, alamat, pekarjaan, agama,suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor register, dan diagnose medis.
            Keluhan utama yang sering menjadi alas an kilen dan keluarga untuk meminta pertolongan kesehatan adalah kelemahan anggota gerak, penurunan daya ingat, serta gangguan sensorik dan penglihatan.

2.      Riwayat penyakit saat ini
Pada anamnesis, klien sering mengeluhkan parestesia (baal, persaan geli, perasaan “mati”, tertusuk-tusuk jarum dan peniti”), penglihatan kabur, lapang pandang semakin menyempit, dan mengeluh tungkainya seakan-akan meloncat secara spontan terutama apabila ia sedang berada ditempat tidur. Merasa lelah dan berat pada satu tungkai dan pada waktu berjalan terlihat jelas kaki yang sebelah terseret maju, dan pengontrolan kurang sekali.
Pada beberapa kasus, keluarga sering mengeluhkan bahwa klien sering bertingkah laku euphoria, suatu perasaan sering mengeluhkan bahwa klien sering bertingkah laku euphoria, suatu perasaan senang yang tidak realities. Ini diduga disebabkan terserangnya subtansia alaba lobus frontalis. Pada tahap lanjut daripenyakit, klien sering mengeluhkan retensi akut dan inkontinensia.

3.      Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat infeksi pada masa kanak-kanak. Namun hubungan riwayat infeksi virus yang menyerang pada masa kanak-kanak belum diketahui bagaimana menyebabkan multiple sklerosis pada waktu mulai mengijak masa dewasa muda, virus campak (rubella) diduga sebagai penyebab penyakit ini.



4.      Riwayat penyakit keluarga
Penyakit ini sedikit lebih banyak ditemukan diantara keluarga yang pernah menderita penyakit tersebut, yaitu kira-kira 6-8 kali lebih sering pada keluarga dekat. Masih dipertanyakan apakah meningkatnya kasus pada keluarga diakibatkan oleh predisposisi genetic (tak terdapat pola herediter).

5.      Pengkajian psiko social
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami kesulitan untuk berkomunikasi akibat gangguan berbicara. Pola persepsi dan konsep diri didapatkan klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, dan tidak kooperatif. Perubahan yang terpenting pada klien dengan penyakit multiple sklerosis adalah adanya gangguan efek, berupa euphoria. Keluhan lain yang melibatkan gangguan serebri dapat berupa hilangnya daya ingat dan demensia. Masalah-masalah emosi,social, pernikahan, ekonomi, pendidikan yang dihadapi klien juga dapat menjadi akibat dari penyakit.

6.      Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarahkan pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaliknya dilakukan persistem (B1-B6) dan terarah dengan focus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (brain) dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
a.       Keadaan umum
Klien dengan multiple sklerosis umumnya tidak mengalami penurunan kesadaran. Adanya perubahan tanda-tanda vital meliputi bradikardi, hipotensi, dan penurunan frekuensi pernapasan yang berhubungan dengan bercak lesi di medulla spinalis.
§  B1 (breathing)
Pada umumnya klien dengan multiple sklerosis tidak mengalami gangguan pada system pernapasan. Pada beberapa klien yang telah lama menderita multipel sklerosis akan mengalami gangguan fungsi pernapasan. ini terjadi akibat tirah baring dalam jangka waktu yang lama. Pemeriksaan fisik didapat meliputi:
·         Inspeksi
Didapatkan klien batuk atau mengalami penurunan kemampuan untuk batuk efektif, peningkatan produksi sputum, sesak napas, dan penggunaan otot bantu napas.
·         Palpasi
Didapatkan taktil fermitus seimbang kanan dan kiri
·         Perkusi
Didapatkan adanya suara resonan pada seluruh lapang paru
·         Auskultasi
Didapatkan bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi stridor, ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi secret, dan kemampuan batuk yang menurun yang sering didapatkan pada klien dengan inaktivitas.
§  B2 (blood)
Pada umumnya klien dengan multiple sklerosis  tidak mengalami gangguan pada system kardiovaskuler. Akibat dari tirah baring lama dan inaktivitas biasanya klien mengalami hipotensi postural.
§  B3 (brain)
Pengkajian B3 (brain) merupakan pemeriksaan focus dan lebih lengkap dibandingkan pengakajian pada system lainnya.
b.      Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran klien biasanya compos mentis.
c.       Pemeriksaan fungsi serebri
Status mental : biasanya statuts mental klien mengalami perubahan yang berhubungan dengan penurunan status kognitif, penurunan persepsi, dan penurunan memori baik jangka pendek dan jangka panjang. Adanya gangguan efek berupa euphoria merupakan tanda yang khas pada klien multiple sklerosis.
d.      Pemeriksaan saraf cranial
ü  Saraf 1: biasanya pada klien multiple sklerosis tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak ada kelaianan.
ü  Saraf  II: hasil tes ketajaman penglihatan mengalami perubahan penurunan ketajaman penglihatan. Sejumlah besar klien menderita gangguan penglihatan sebagai gajala-gejala awal. Dapat terjadi kekaburan penglihatan, lapang pandang, yang abnormal dengan bintik buta (skotoma) baik pada satu ataupun pada kedua mata. Salah satu mata mungkin mengalami kebutaan total. Gangguan-gangguan visual ini diakibatkan oleh neuritis saraf optikus. Lesi pada batang otak yang menyerang nucleus atau serabut-serabut traktus pada otot-otot ekstraokuler dan nistagmus (gerakan osilasi bola mata yang cepat dalam arah horizontal atau vertikal).
ü  Saraf III, IV, dan VI
Pada beberapa kasus multiple sklerosis biasanya tidak di temukan adanya kelainan pada saraf ini.
ü  Saraf VI
Wajah simetris dan tidak ada kelainan pada saraf ini.
ü  Saraf  VII
Persepsi pengecapan dalam batas noramal.
ü  Saraf  VIII
Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
ü  Saraf  IX dan X
Didapatkan kesulitan dalam menelan makanan yang berhubungan dengan perubahan status kognitif (klien tidak kooperatif)
ü  Saraf XI
Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
ü  Saraf XII
Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.

e.       Sistem motorik
Kelemahan spatik anggota gerak dengan manifestasi berbagai gejala. Meliputi kelemahan anggota gerak pada satu sisi tubuh atau terbagi secara asimetris pada keempat anggota gerak. Merasa lelah dan berat pada satu tungkai dan pada waktu berjalan terlihat jelas kaki yang sebelah terseret maju dan pengontrolannya kurang sekali. Klien dapat mengeluh tungkainya seakan-akan meloncat secara spontan terutama apabila ia sedang berada ditempat tidur. Keadaan spastis yang lebih berat disertai dengan spasme otot yang nyeri.
f.       Pemeriksaan refleks
Refleks tendon hiperaktif dan refleks-refleks abdominal tidak ada. Respon plantar, tanda ini merupakan indikasi terserangnya lintasan kortikospinal.
g.      Sistem sensorik
Gangguan sensorik berupa parestesia (baal, perasaan geli, perasaan mati, tertusuk-tusuk jarum dan peniti)
§  B4 (blandder)
Disfungsi kandung kemih. Lesi pada traktus kortikospinal menimbulkan gangguan pengaturan sfingter sehingga timbul keraguan untuk berkemih, frekuensi, dan urgensi berkemih yang menunjukkan berkurangnya kapasitas kandung kemih yang spastis. Kecuali itu juga timbul retensi akut dan inkontinensia.
§  B5 (bowel)
Pemenuhan nutrisi berkurang yang berhubungan dengan asupan nutrisi yang kurang karena kelemahan fisik umum daan perubahan status kognitif. Karena penurunan aktivitas umum lien sering mengalami konstipasi.
§  B6 (bone)
Pada beberapa keadaan kilen multiple sklerosis biasanya didapatkan adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan spastic anggota gerak. Kelemahan anggota gerak pada satu sisi tubuh atau terbagi secara asimetris pada keempat anggota gerak. Merasa lelah dan berat pada satu tungkai, pada waktu berjalan terlihat jelas kaki yang sebelah terseret maju dengan pengontrolan yang kurang sekali. Klien dapat mengeluh tungkainya seakan-akan meloncat secara s[ontan terutama apabila ia sedang berada ditempat tidur. Keadaan spastic yang berat di sertai dengan spasme otot yang nyeri. Adanya gangguan keseimbangan dan koordinasi dalam melakukan pergerakan karena perubahan pada gaya berjalan dan kaku pada seluruh gerakan memberikan resiko pada trauma fisik bila mlakukan aktivitas.
     Resiko dari multiple sklerosis terhadap system ini berupa komplikasi sekunder seperti resiko kerusakn integritas jaringan kulit (dekubitus) akibat penekanan setempat ari tirah baring lama, deformitas, kontraktur, dan edema, dependen pada kaki.

DIAGNOSA KEPERAWATA N
1)      Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kelemahan, paresis, dan spastisitas.
2)      Resiko tinggi cedera yang berhubungan dengan kerusakan sensorik dan penglihatan, dampak tirah baring,lama, dan kelemahan spastis.
3)      Resiko tinggi gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan tirah baring lama
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, klien mampu mempertahankan keutuhan kulit.
4)      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan intake nutrisi yang tidak adekuat.
5)      Kerusakan komunikasi verbal yang behubungan dengan disatria, ataksia serebri sekunder dari kerusakan serebri.
6)      Deficit perawatan diri (makan, minum,berpakaian, higiene) yang berhubungan dengan perubahan kemampuan merawat diri sendiri, kelemahan fisik spastis.
RENCANA INTERVENSI
Sasaran utama untuk klien peningkatan mobilitas fisik, menghindari cedera, pencapaian kontinens kandung kemih dan usus, perbaiakn fungsi kognitif, perkembangan kekuatan koping, perbaikan perawat diri, dan adaptasi terhadap disfungsi seksual. Program individu terhadap terapi fisik, rehabilitas, dan pengetahuan dikombinasi dengan dukungan emosi. Intervensikeperawatan bertujuan meningkatkan pengetahuan klien untuk memungkinkan.

DIANGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI
                                                                                             
1)      Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kelemahan, paresis, dan spastisitas.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, klien dapat     melaksanakan aktivitas fisik sesuai kemampuan dengan. menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas fisik.
kriteria hasil :   klien dapat ikut serta dalam program latihan.
                                    Tidak terjadi kontraktur sendi
                                    Bertambahnya kekuatan otot.
INTERVENSI
RASIONAL
a)      Kaji mobilitas yang ada dan observasi terhadap peningkatan kerusakan. Kaji secar ateratur fungsi motorik.
1.      Mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktivitas.

2.      Modifikasi peningkatan mobilitas fisik.
2. Untuk menguatkan otot yang lemah karena penurunan kekuatan otot adalah masalah signifikan pada klien ini.

3.      Anjurkan teknik aktivitas dan teknik
istirahat.

 3.        Klien dianjurkan untuk melakukan aktivitas melelahkan dalam waktu singkat. Latihan fisik yang giat tidak dianjurkan karena hal itu meningkatkan suhu tubuh dan dapat menimbulkan gejala yang lebih buruk. Lamanya latihan yang melelahkan ekstremitas dapat menyebabkan paresis, kebas atau tidak ada koordinasi, klien dianjurkan untuk tetap sering beristirahat pada periode pendek, dan berbaring lebih disukai. Kelelahan yang berlebihan dapat berhubungan dengan factor penyebab gejala eksaserbasi.
4.      Ajarkan teknik latihan jalan

4.         Latihan berjalan meningkatkan gaya berjalan, karena umumnya pada keadaan tersebut, kaki dan telapak kaki kehilangan sensasi positif. Jika kelompok otot yang terpengaruh tidak dapat smbuh maka otot-otot lain dapat dicoba untuk melakukan aksi.
5.  Ubah posisi klien tiap 2jam
5.         Menurunkan resiko terjadinya iskemia jaringan akibat sirkulasi darah yang buruk pada daerah yang tertekan.
6.  Ajarkan klien untuk melakukan latihan gerak aktif pada ekremitas yang tidak sakit.
6.         Gerak aktif memberikan masa, tonus, dan kekuatan otot, serta memperbaikan fungsi jantung dan pernapasan.

7.         Lakukan gerak pasif pada ekstermitas yang sakit 
7.         Otot volunter  untuk geraakan kehilangan tonusdan kekuatannya bila tidak dilatih untuk gerak.
8.         Bantu klien untuk melakuakn ROOM , perawatan diri sesuai toleransi.
8.         Untuk memelihara fleksibilitas sendi sesuai kemampuan.


b)      Resiko tinggi cedera yang berhubungan dengan kerusakan sensorik dan penglihatan, dampak tirah baring,lama, dan kelemahan spastis.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, klien tidak mengalami resiko cidera dengan
kriteria hasil: klien mau berpartisipasi terhadap pencegahan trauma, dekubitus  tidak terjadi, kontraktur sendi tidak terjadi, dan tidak jatuh dari tempat tidur.


INTERVENSI
RASIONAL
1.         Pertahankan tirah baring dan
imobilisasi sesuai indikasi
1.      Ramentulang  rangsang nyeri akibat gesekan antara fragen tulang dengan jaringan lunak disekitarnya.

2.         Berikan kaca mata sesuai klien.
2.      Untuk memblok impuls penglihatan pada suatu mata bila klien mengalami diplopia (penglihatan ganda).
3.         Minimalkan efek imobilitas.
3.      Untuk mencegah komplikasi berupa pengkajian dan mempertahankan intergritas kulit dan latihan napas dalam serta batuk.

4.         Modifikasi pencegahan cedera.
4.      Pencegahan cidera dilakukan pada klien multiple sklerosis jika di funsi motorik menyebabkan masalah akibat tidak adanya koordinasi dan adanya kekakuan, atau jika ataksia ada, klien beresiko jatuh.

5.         Modifikasi lingkungan.
5.      Untuk mengatasi ketidak kemampuan.

6.         Ajarkan teknik berjalan.
6.      Jika kehilangan sensasi terhadap posisi tubuh, klien dianjurkan untuk melihat kaki sambil berjalan. Berjalan dengan langkah cepat dicoba dengan alat bantu dan terapi fisik.

7.         Berikan terapi okupasi.
7. Terapi okupasi merupakan sumber yang membantu individu dalam memberi anjuran dan memnjamin bantuan untuk meningkatkan kemandirian. Jika tidak ada koordinasi dan tremor ekstremitas atas terjadi ketika gerak volunter diupayakan  (tremor intense). Gelang pemberat atau manset pada pergelangan tangan dapat menolong. Klien dilatih untuk berpndah nmelakukan aktivitas sehari-hari.



c)      Resiko tinggi gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan tirah baring lama
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, klien mampu mempertahankan keutuhan kulit.
kriteria hasil : klien mau berpartisipasi terhadap pencegahan luka, mengethui penyebab dan cara pencegahan luka, tidak ada tanda-tanda kemerahan atau luka, kulit kering.
INTERVENSI
RASIONAL
1.         Anjurkan untuk melakukan latihan ROM dan mobilisasi jika mungkin.
1.         Meningkatkan aliran darah ke seluruh tubuh
2.         Ubah posisi tiap 2 jam
2.         Menghindari tekanan dan menungkatkan aliran darah.
3.         Gunakan pengajal lunak di bawah daerah –daerah (tulang) yang menonjol.
3.         Menghindari tekanan yang berlebihan pada daerah (tulang) yang menonjol
4.         Lakukan masase pada daerah (tulang) yang menonjol baru mengalami tekanan pada waktu berubah posisi.
4.         Menghindari kerusakan-kerusakan kapiler.
5.         Bersihkan dan keringkan kulit, jagalah tenun tetap kering.
5.         Meningkatkan integritas kulit dan mengurangi resiko kelembaban kulit.

d)     Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan intake nutrisi yang tidak adekuat.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.
kriteria hasil : klien mengerti tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh, memperhatikan kenaikan berat badan sesuai dengan hasil pemeriksaan labolatorium.
INTERVENSI
RASIONAL
1.         Evaluasi kemampuan makan klien
1.         Klien mengalami kesulitan dalam mempertahankan berat badan mereka. Mulut mereka kering akibat obat-obatan dan mengalami kesulitan menguyah dan menelan
2.         Timbang badan jika memungkinkan
2.         Tanda kehilangan berat badan (7-10%) dari kekurangan asupan nutrisi menunjang terjadinya masalah katabolisme, kandungan glikogen dalam otot dan kepekaan terhadap pemasangan ventilator.
3.         Manajemen mencapai kemampuan menelan :
         Gangguan menelan disebabkan oleh tremor pada lidah, ragu-ragu dalam memulai menelan, kesulitan dalam membentuk makanan dalam bentuk bolus.
         Makanan setengah padat dengan sedikit air memudahkan untuk menelan.
         Klien dianjurkan untuk menelan secara berurutan.
         Klien dianjarkan untuk meletakkan makanan diatas lidah, menutup bibir dan gigi, dan menelan.
         Klien dianjurkan untuk menguyah pertama kali pada satu sisi mulut dan kemudian ke sisi lain.
         Untuk mengontrol saliva, klien dianjurkan untuk menahan kepala tetap tegak dan membuat keadaan sadar untuk menelan.
         Masase otot wajah dan leher sebelum makan dapat membantu.
        Berikan makanan kecil dan lunak.
3.         Meningkatkan kemampuan klien dalam menelan dan dapat membantu pemenuhan nutrisi klien via oral. Tujuan lain adalah mencegah terjadinya kelelahan, memudahkan masuknya makanan, dan mencegah gangguan pada lambung.
4.         Anjurkan pemberian cairan 2500 cc/hari selama terjadi gangguan jantung.
4.         Mencegah terhadinya dehidrasi akibat penggunaan ventilator selama klien tidak sadar dari mencegah terjadinya konstipasi.
5.         Lakukan pemeriksaan laboratorium yang diindikasikan, seperti serum, transferin, BUN/ kreatinin, dan glukosa
5.         Memberikan informasi yang tepat tentang keadaan nutrisi yang dibutuhkan klien.
e)      Kerusakan komunikasi verbal yang behubungan dengan disatria, ataksia serebri sekunder dari kerusakan serebri.
Tujuan : dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, klien mengunakan komunikasi yang efektif sesui kondisinya.
 Kriteria hasil : membuat teknik komunikasi yang dapat dimengerti sesuai ke
butuhan dan meningkatkan kemampuan berkomunikasi.
INTERVENSI
RASIONAL
1. kaji kemampuan klien untuk berkomunikasi.
1. gangguan berbicara terjadi pada banyak klien yang mengalami penyakit multiple sklerosis. Bicara mereka yang lemah, monoton, halus, menuntut kesadaran berupaya untuk berbicara dengan lambat, dengan penekanan perhatian pada apa yang mereka katakan.
2. menentukan cara komunikasi, seperti mempertahankan kontak mata, pertanyaan dengan jawaban ya / tidak, menggunakan kertas dan pensil, bahasa isyarat, penjelasan arti dari komunikasi yang disampaikan 
2.  mempertahankan kontak mata akan membuat klien tertarik selama komunikasi, jika klien dapat menggerakkan kepala, mengedipkan mata, atau senang dengan isyarat-isyarat sederhana. Kemampuan menulis kadang melelahkan klien selain itu dapat mengakibatkan frustasi dalam upaya memenuhi kebutuhan komunikasi. Keluarga dapat bekerja sama untuk membantu memenuhi kebutuhan klien.   
3. buatlah catatan dikantor perawatan tentang keadaan klien yang dapat berbicara.
3. mengingatkan staf perawat untuk berespon dengan klien selama memberikan perawatan.
4. buatlah rekaman pembicaraan klien
4. untuk memantau perkembangan klien. Amplifier kecil membantu bila klien mengalami kesulitan mendengar.
f)       Deficit perawatan diri (makan, minum,berpakaian, higiene) yang berhubungan dengan perubahan kemampuan merawat diri sendiri, kelemahan fisik spastis.
Tujuan : dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, terjadi peningkatan dalam  perilaku perawatan diri.
Kriteria hasil :klien dapat menunjukkan perubahan gaya hidup untuk kebutuhan merawat diri dan mengidentifikasi personal/ keluarga yang dapat membantu.
INTERVENSI
RASIONAL
1. kaji kemampuan dan tingkat penurunan dan skala 0-4 untuk melakukan ADL
1.  membantu dalam mengantisipasi dan merencanakan pertemuan kebutuhan individual.
2. hindari apa yang tidak dapat dilakukan klien dan bantu bila perlu.
2. Untuk mencegah frustasi dan merendahkan harga diri klien
3. ajarkan dan dukung klien selama aktivitas.
3. Untuk meningkatkan perawatan diri.
4. modifikasi lingkungan
4. untuk mengompensasi ketidakmampuan fungsi.
5. identifikasi kebiasaan defekasi. Anjurkan minum dan meningkatkan aktivitas.
5. meningkatkan latihan menolong, mencegah konstipasi
(arif muttaqin, 2008, hal: 376 )













BAB II
PEMBAHASAN KASUS

A.    KASUS MULTIPEL SKLEROSIS

Seseorang perempuan berusia 22 tahun, mengeluhkan hilangnya penglihatan mata kiri selama 48 jam, dengan nyeri di sekitar mata kiri saat menggerakkan mata kiri selama 48 jam. Pada keadaan yang terburuk, visus mata kiri adalah 6/60 dan mata kanan normal. Pada mata kiri, penglihatan warna berkurang dan terdapat defek pupil eferen relative. Gejala ini membaik dalam 4 minggu. Dua tahun kemudian kedua kakinya mati rasa. Dalam waktu 1 minggu, rasa baal menyebar dan meluas sampai pinggang, tidak melibatkan perineum. Pemeriksaan ini menunjukkan defek pupil aferen relative pada mata kiri, walaupun ketajaman penglihatannya normal, dan funduskopi menunjukkan diskus optikus yang pucat. Tidak ada tanda abnormalitas motorik pada tungkai, namun ia mengeluhkan gangguan sensasi nyeri dan suhu pada kaki sesuai level T 10. Menurut diagnosa dokter dia menderita multipel sklerosis.

B.     PENGELOMPOKAN DATA
Ds :
·         Klien mengeluhkan hilangnya penglihatan mata kiri selama 48 jam,
·         Klien mengeluh nyeri di sekitar mata kiri saat menggerakkannya.
·         Klien mengatakan setelah dua tahun kemudian kedua kakinya mati rasa.
·         Klien mengatakan  Dalam waktu 1 minggu, rasa baal menyebar dan meluas sampai pinggang,  dan tidak melibatkan perineum
·         klien mengeluhkan gangguan sensasi nyeri pada tungkai      
Do :
·         visus mata kiri adalah 6/60
·         Pada mata kiri, penglihatan warna berkurang dan terdapat defek pupil eferen relative
·         funduskopi menunjukkan diskus optikus yang pucat
·         suhu pada kaki sesuai level T 10.






C.    Analisa Data
Tanda & gejala
Etiologi
Problem
Ds :
·         Klien mengeluhkan hilangnya penglihatan mata kiri selama 48 jam, dan nyeri di sekitar mata kiri saat menggerakkannya.
Do :
·         visus mata kiri adalah 6/60
·         Pada mata kiri, penglihatan warna berkurang dan terdapat defek pupil eferen relative
·         funduskopi menunjukkan diskus optikus yang pucat

Keterbatasan mobilitas sekunder akibat paraplegia / quadriplegia
Gangguan persepsi sensori (penglihatan)
Ds :
·         Klien mengatakan setelah dua tahun kemudian kedua kakinya mati rasa, Dalam waktu 1 minggu, rasa baal menyebar dan meluas sampai pinggang, tidak melibatkan perineum
·         klien mengeluhkan gangguan sensasi nyeri pada tungkai
Do :
·         visus mata kiri adalah 6/60
·         Pada mata kiri, penglihatan warna berkurang dan terdapat defek pupil eferen relative
·         funduskopi menunjukkan diskus optikus yang pucat
·         suhu pada kaki sesuai level T 10.


kelemahan, paresis, dan spastisitas.
Kerusakan mobilitas fisik
Ds :
·         Klien mengeluhkan hilangnya penglihatan mata kiri selama 48 jam, dan nyeri di sekitar mata kiri saat menggerakkannya.
·         Klien mengatakan setelah dua tahun kemudian kedua kakinya mati rasa, Dalam waktu 1 minggu, rasa baal menyebar dan meluas sampai pinggang, tidak melibatkan perineum
·         klien mengeluhkan gangguan sensasi nyeri pada tungkai
Do :
·         visus mata kiri adalah 6/60
·         Pada mata kiri, penglihatan warna berkurang dan terdapat defek pupil eferen relative
·         funduskopi menunjukkan diskus optikus yang pucat
·         suhu pada kaki sesuai level T 10.
Gangguan gaya berjalan tidak mantap, kelemahan, dan gerakan tidak terkontrol
Resiko cidera





D.    DIAGNOSA KEPERAWATAN
                               I.            Gangguan persepsi sensori (penglihatan) berhubungan dengan Keterbatasan mobilitas      sekunder akibat paraplegia / quadriplegia
                            II.            Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan, paresis, dan spastisitas.
                         III.            Resiko cidera berhubungan dengan Gangguan gaya berjalan tidak mantap, kelemahan, dan gerakan tidak terkontrol.


E.     INTERVENSI KEPERAWATAN

DX  1
                               I.            Gangguan persepsi sensori (penglihatan) berhubungan dengan Keterbatasan mobilitas      sekunder akibat paraplegia / quadriplegia
Tujuan dan kriteria hasil : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam masalah dapat teratasi dengan kriteria yang diharapkan :
§  Penglihatannya tidak terganggu
§  Terjadi peningkatan ketajaman penglihatan.

INTERVENSI
RASIONAL
1.      Catat reaksi pasien terhadap penurunan penglihatan
2.      Terima reaksi pasien pada penurunan penglihatan
3.      Jangan memindahkan segala sesuatu yang ada di ruangan pasien atau informasi penting lainnya pada pasien
4.      Tunjukkan pemberian tes mata.

5.      Intruksikan parawatan mata dan berikan obat-obat yang sesuai.
§  Memberikan data

§  Memberikan pemahaman

§  Mencegah isolasi



§  Mencegah kehilangan penglihatan lebih lanjut.
§  Meningkatkan kesehatan mata



DX 2
                            II.            Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kelemahan, paresis, dan spastisitas.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, klien dapat     melaksanakan aktivitas fisik sesuai kemampuan dengan. menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas fisik,dengan kriteria hasil:
§  klien dapat ikut serta dalam program latihan.
§  Tidak terjadi kontraktur sendi
§  Bertambahnya kekuatan otot.
INTERVENSI
RASIONAL
1.      Kaji mobilitas yang ada dan observasi terhadap peningkatan kerusakan. Kaji secar ateratur fungsi motorik.
1.      Mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktivitas.

2.      Modifikasi peningkatan mobilitas fisik.
2.      Untuk menguatkan otot yang lemah karena penurunan kekuatan otot adalah masalah signifikan pada klien ini.

3.      Ajarkan teknik latihan jalan

3.      Latihan berjalan meningkatkan gaya berjalan, karena umumnya pada keadaan tersebut, kaki dan telapak kaki kehilangan sensasi positif. Jika kelompok otot yang terpengaruh tidak dapat smbuh maka otot-otot lain dapat dicoba untuk melakukan aksi.
4.      Ubah posisi klien tiap 2jam
4.      Menurunkan resiko terjadinya iskemia jaringan akibat sirkulasi darah yang buruk pada daerah yang tertekan.
5.      Ajarkan klien untuk melakukan latihan gerak aktif pada ekremitas yang tidak sakit.
5.      Gerak aktif memberikan masa, tonus, dan kekuatan otot, serta memperbaikan fungsi jantung dan pernapasan.

6.      Lakukan gerak pasif pada ekstermitas yang sakit 
6.      Otot volunter  untuk geraakan kehilangan tonusdan kekuatannya bila tidak dilatih untuk gerak.
7.      Bantu klien untuk melakukan ROOM , perawatan diri sesuai toleransi.
7.      Untuk memelihara fleksibilitas sendi sesuai kemampuan.







DX 3
                         III.            Resiko cidera berhubungan dengan Gangguan gaya berjalan tidak mantap, kelemahan, dan gerakan tidak terkontrol.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, klien tidak mengalami resiko cidera dengan kriteria hasil:
§  klien mau berpartisipasi terhadap pencegahan trauma, dekubitus  tidak terjadi, kontraktur sendi tidak terjadi, dan tidak jatuh dari tempat tidur.

INTERVENSI
RASIONAL
1.         Pertahankan tirah baring dan imobilisasi sesuai indikasi
1. Ramentulang  rangsang nyeri akibat gesekan antara fragen tulang dengan jaringan lunak disekitarnya.

2.         Berikan kaca mata sesuai klien.
2. Untuk memblok impuls penglihatan pda suatu mata bila klien mengalami diplopia (penglihatan ganda). Kacamata prisma dapat membantu klien yang berbaring ditempat tidur yang mempunyai kesulitan penglihatan saat membaca dengan posisi terlentang.
3.         Minimalkan efek imobilitas.
    3. untuk mencegah komplikasi berupa pengkajian dan mempertahankan intergritas kulit dan latihan napas dalam serta batuk.

4.         Modifikasi pencegahan cedera.
4. Pencegahan cidera dilakukan pada klien multiple sklerosis jika difungsi motorik menyebabkan masalah akibat tidak adanya koordinasi dan adanya kekakuan, atau jika ataksia ada, klien beresiko jatuh.

5.         Modifikasi lingkungan.
5.Untuk mengatasi ketidak kemampuan, klien dianjurkan untuk berjalan dengan kaki pada ruang yang luas untuk menyediakan dasar yang luas dari untuk meningkatkan kemampuan berjalan dengan stabil.

6.         Ajarkan teknik berjalan.
6. Jika kehilangan sensasi terhadap posisi tubuh, klien dianjurkan untuk melihat kaki sambil berjalan. Berjalan dengan langkah cepat dicoba dengan alat bantu dan terapi fisik.















DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika
Corwin, Elisabeth j.2009. Buku Saku Patofisiologi, edisi 3.jakarta: EGC
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
Gisberg,lionel.2007. Lecture Notes Neurologi, edisi 8..jakarta: Erlangga
(http: msandme.multiply.com/ journal/item/1)










Istilah
1.      Ataksia : penyakit penyusutan serebelum (otak kecil).
2.      Perineum : lantai pelvis dan struktur sekitarnya yang menempati pintu bawah panggul, disebelah anterior dibatasi lateral oleh tuber iskiadikum, dan disebelahnya posterior oleh os koksigeus.




BAB III
PEMBAHASAN


Dari pembahasan kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa Tn. Rudi (65 tahun) menderita Demensia tipe Alzheimer yaitu suatu penyakit degeneratif otak yang progresif, yang mematikan sel otak sehingga mengakibatkan menurunnya daya ingat, kemampuan berpikir, dan perubahan perilaku.
Tanda dan gejala yang muncul adalah mengalami masalah dalam mengingat detail dalam pekerjaan, mengalami disorientasi terhadap tempat dan waktu, mengalami kesulitan dalam tes ingatan sederhana, gagal mengingat salah satu dari enam objek yang diperlihatkan padanya sepuluh menit sebelumnya, tidak dapat mengingat nama orang tua atau saudara kandungnya, hal itu disebabkan pada penyakit Alzheimer terjadi kematian sel otak dan defisit neuron kolinergik yang menyebabkan penurunan daya ingat dan memori.
Tanda dan gejala lain yang muncul adalah menjadi semakin keras kepala dan bahkan bersikap kasar secara verbal dan fisik terhadap orang lain ketika ia merasa terganggu, bicaranya tidak jelas dan penuh dengan frase yang tidak berarti,  dan kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-harinya seperti mandi dan berpakaian, itu disebabkan karena pasien Alzheimer mengalami penurunan daya ingat sehingga terjadi perubahan proses berfikir dan perubahan tingka laku.
Pemeriksaan fisik yang perlu ditambahkan adalah Pemeriksaan fisik yang  sebaiknya dilakukan per sistem dan terarah(B1-B6) dengan fokus pemeriksaan pada B3(Brain) dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan klien.
Pemeriksaan penunjang yang perlu ditambahkan adalah CT Scan untuk mengetahui adanya Atropi kortikal menyeluruh dan pembesaran ventrikel keduanya, merupakan gambaran marker dominan yang sangat spesifik pada penyakit Alzheimer


No comments:

Post a Comment