MAKALAH
MEASTENIA GRAVIS
Disusun
Oleh :
-
Wahyu Raharjo
-
Gita Triwidyatuti
STIKES
MUHAMMADIYAH PEKAJANGAN
PEKALONGAN
2013
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur
kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini. Pada kesempatan ini kami
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan
dukungan dalam penyusunan makalah ini, terutama kami mengucapkan terima kasih.
Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini masih sangat banyak kekurangan baik dari segi materi,
tata bahasa, maupun penyusunan. Dengan rendah hati penulis mengharapkan kritik
dan saran yang selanjutnya membangun untuk lebih menyempurnakan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Pekalongan,
10 April 2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Miastenia
gravis adalah kelemahan otot yang cukup
berat di dalam terjadi kelelahan otot-otot secara cepat dengan lambatnya
pemulihan (dapat memakan waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari normal).
Miastenia gravis mempengaruhi sekitar 400 per 1 juta orang. Kelemahan otot yang
parah yang menyebabkan oleh penyakit tersebut membawa sejumlah komplikasi lain,
termasuk kesulitan bernapas kesulitan mengunyah dan menelan, bicara cadel,
kelopak mata murung dan kabur atau penglihatan ganda.
Miastenia
gravis dapat mempengaruhi orang-orang dari segala umur. Namun lebih sering
terjadi pada para wanita, yaitu wanita berusia antara 20 dan 40 tahun. Pada
laki-laki lebih dari 60 tahun. Dan jarang terjadi selama masa kanak-kanak.
Siapapun
bisa mewarisi kecenderungan terhadap kelainan autoimun ini. Sekitar 65% orang
yang mengalami miastenia gravis mengalami pembesaran kelenjar hymus, dan
sekitar 10% memiliki tumor pada kelenjar thymus (thymoma). Sekitar setengah
thymoma adalah kanker (malignant). Beberapa orang dengan gangguan tersebut
tidak memiliki antibodi untuk reseptor acetylcholine tetapi memiliki antibodi
terhadao enzim yang berhubungan dengan pembentukan persimpangan neuromuskular
sebagai pengganti. Orang ini bisa memerlukan pengobatan berbeda.
Pada
40% orang dengan miastenia gravis, otot
mata terlebih dahulu terkena, tetapai 85% segera mengalami masalah ini.
Pada 15% orang, hanya otot-otot mata yang terkena,, tetapi pada kebanyakan
orang, kemudian seluruh tubuh terkena , kesulitan berbicara, dan menelan dan
kelemahan pada lengan dan kaki serimg terjadi. Pegangan tangan bisa
berubah-ubah antara lemah dan normal. Otot leher bisa menjadi lemah. Sensasi
tidak terpengaruh.
Ketika
orang dengan miastenia gravis menggunakan otot secara berulang-ulang, otot
tersebut biasanya menjadi lemah. Misalnya, orang yang dahulu bisa menggunakan
palu dengan baik menjadi lemah setelah memalu untuk beberapa menit. Meskipun
begitu, kelemahan otot bervariasi dalam intensitas dari jam ke jam dan dari
hari ke hari, dan rnagkaian peyakit tersebur bervariasi secara luas. Sekitar
15% orang mengalami peristiwa berat (disebut miastenia crisis), kadangkala
dipicu oleh infeksi. Lengan dan kaki sangat lemah. Pada beberapa orang, otot
diperlukan untuk pernapasan yang melemah . keadaan ini dapat mengancam nyawa.
B. Tujuan
umum :
1. Menjelaskan
konsep dan proses keperawata miastenia gravis
Tujuan khusus :
1. Mengetahui
definisi miastenia gravis
2. Mengetahui
etiologi miastenia gravis
3. Mengetahui
patofiologi miastenia gravis
4. Mengetahui
manivestasi klinis miastenia gravis
5. Mengetahui
pemeriksaan diagnostik miastenia gravis
6. Mengetahui
komplikasi miastenia gravis
7. Mengetahui
penatalaksanaan miastenia gravis
8. Mengetahui
asuhan keperawatan miastenia gravis
C. Manfaat
:
1. Mahasiswa
mampu dan mengerti tentang meastenia gravis
2. Mahasiswa
mampu menerapkan asuhan keperawatan pada pasien miastenia gravis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Miastenia gravis merupakan bagian
dari penyakit neuromuskular. Miastenia gravis adalah gangguan yang memengaruhi
transmisi neuromuskular pada otot tubuh yang kerjanyaa di bawah kesadaran
seseorang (volunter). Miastenia gravis merupakan kelemahan otot yang parah dan
satu-satunya dengan penyakit neuromuskular dengan gabungan antara cepatnya
terjadi kelelahan otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan (dapat memakan
waktu 10-20 kali lebbih lama dari normal). (Price dan Wilson, 1995).
Karakteristik yang muncul berupa
kelemahan yang berlebihan dan umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter
yang dipengaruhi oleh saraf kranial. Serangan dapat terjadi pada beberapa usia,
ini terlihat paling sering pada wanita antara 15-35 tahun dan pada laki-laki
sampai 40 tahun.
B. ETIOLOGI
Penyebab dari miastenia
gravis yaitu :
1. Autoimun
: direct mediated antibody
2. Virus
3. Pembedahan
4. Stres
5. Alkohol
6. Tumor
mediastinum
7. Obat-obatan
:
a) Antibiotik
(Aminoglycosides, ciprofloxacin, ampicillin, erythromycin)
b) B-blocker
(propanolol)
c) Lithium
d) Magnesium
e) Procainamide
f) Verapamil
g) Chloroquine
h) Prednisone
C. PATOFISIOLOGI
Dalam kasus Myasthenia Gravis
terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline Receptor (AChR). Kondisi ini
mengakibakan Acetyl Choline(ACh) yang tetap dilepaskan dalam jumlah
normal tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju membran post-synaptic.
Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada jumlah normal akan
mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan oleh impuls
tertentu. inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit pada pasien.
Pengurangan jumlah AChR ini
dipercaya disebabkan karena proses auto-immun di dalam tubuh yang memproduksi
anti-AChR bodies, yang dapat memblok AChR dan merusak membran post-synaptic.
Menurut Shah pada tahun 2006, anti-AChR bodies ditemukan pada 80%-90% pasien
Myasthenia Gravis. Percobaan lainnya, yaitu penyuntikan mencit dengan
Immunoglobulin G (IgG) dari pasien penderita Myasthenia Gravis
dapat mengakibatkan gejala-gejala Myasthenic pada mencit tersebut,
ini menujukkan bahwa faktor immunologis memainkan peranan penting dalam
etiology penyakit ini.
Alasan mengapa pada penderita
Myasthenia Gravis, tubuh menjadi kehilangan toleransi terhadap AChR sampai saat
ini masih belum diketahui. Sampai saat ini, Myasthenia Gravis dianggap sebagai
penyakit yang disebabkan oleh sel B, karena sel B lah yang memproduksi
anti-AChR bodies. Namun, penemuan baru menunjukkan bahwa sel T yang
diproduksi oleh Thymus, memiliki peranan penting pada patofisiologis penyakit
Myasthenia Gravis. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya penderita Myasthenic
mengalami hiperplasia thymic dan thymoma.
D. MANIFESTASI
KLINIS
1. Kelemahan
otot mata dan wajah (hampir selalu ditemukan)
a) Ptosis
b) Diplobia
c) Otot
mimik
2. Kelemahan
otot bulbar
a) Otot-otot
lidah
·
Suara nasal, regurgitasi nasal
·
Kesulitan dalam mengunyah
·
Kelemahan rahang yang berat dapat
menyebebkan rahang terbuka
·
Kesulitan menelan dan aspirasi dapat
terjadi dengan cairan batuk dan tercekik saat minum
b) Otot-otot
leher
·
Otot-otot fleksor leher lebih
terpengaruh daripada otot-otot ekstensor
3. Kelemahan
otot anggota gerak
4. Kelemahan
otot pernapasan
a) Kelemahan
otot interkostal dan difragma menyebabkan retensi CO2.
Hipoventilasi
menyebabkan kedaruratan neuromuskular.
b) Kelemahan
otot faring dapat menyebabkan gagal saluran napas atas.
E. KLASIFIKASI
Klasifikasi Myasthenia
Gravis berdasarkan The Medical
Scientific Advisory Board (MSAB) of the Myasthenia Gravis Foundation of America
(MGFA) :
·
Class
I : Kelemahan otot okular dan gangguan
menutup mata, otot lain masih normal
·
Class
II :
Kelemahan ringan pada otot selain okular, otot okular meningkat kelemahannya
·
Class
IIA : Mempengaruhi ekstrimitas, sedikit
mempengaruhi otot-otot oropharyngeal
·
Class
IIb :
Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan, juga mempengaruhi
ekstrimitas
·
Class
III :
Kelemahan sedang pada otot selain okuler, meningkatnya kelemahan pada otot
okuler
·
Class
IIIa : Mempengaruhi ektrimitas sedikit
mempengaruhi otot-otot oropharyngeal
·
Class
IIIb : Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal
dan pernapasan, juga mempengaruhi ekstrimitas
·
Class
IV : Kelemahan berat pada selain otot
okuler, kelemahan berat pada otot okuler
- Class IVa : Mempengaruhi ekstrimitas, sedikit pengaruh pada otot-otot oropharyngeal
- Class IVb : Terutama mempengaruhi otot-otot pernapasan dan oropharyngeal, juga mempengruhi otot-otot ekstrimitas
- Class V : Pasien yang membutuhkan intubasi (kecuali pada kasus post-operative
F. KOMPLIKASI
1.
Miatenia crisis atau cholinergic crisis akibat terapi yang tidak
diawasi
2.
Pneumonia
3.
Bollous Death
Faktor-faktor yang dapat
memicu komplikasi pada pasien termasuk riwayat penyakit sebelumnya (misalnya,
infeksi virus pada pernapasan), pasca operasi, pemakaian kortikosteroid yang lenyap secara cepat, aktivitas berlebih (terutama pada cuaca yang
panas), kehamilan, dan stress emosional (Widagdo,
2007).
G. PEMERIKSAAN
DIAGNOSTIK
1. Laboratorium
-
Anti-acetylcholine reseptor antibody
§ 85%
pada miastenia umum
§ 60%
pada pasien miastenia okuler
-
Anti-striated muscle
§ Pada
84% pasien dengan timoma dengan usia kurang dari 40 tahun
-
Interleukin-2 reseptor
§ Meningkat
pada MG
§ Peningkatan
berhubungan dengan progrsifitas penyakit
2. Imaging
-
X-ray thoraks
§ Foto
polos posisi AP dan lateral dapat mengidentifikasi timomasebagai massa
mediatinum anterior.
-
CT scan thoraks
§ Identifikasi
timoma
-
MRI otak dan orbita
§ Menyingkirkan
penyebab lain defisit Nn. Cranialies, tidak digunakan secara rutin.
3. Pemeriksaan
klinis
-
Menatap tanpa kedip pada suatu benda
yang terletak di atas bidang kedua mata selama 30 detik, akan terjadi ptosis.
-
Melirik ke samping terus menerus akan
terjadi diplopia.
-
Menghitung atau membaca keras-keras
selama tiga menit akan terjadi pita suara atau suara hilang.
-
Tes untuk otot leher dengan mengangkat
kepala selama 1 menit dalam posisi berbaring.
-
Tes exercise untuk otot ekstermitas,
dengan mempertahankan posisi saat mengangkat kaki dengan sudut 450 pada
posisi tidur terlentang 3 menit, atau duduk-berdiri 20-30 kali. Jalan di atas
tumit atau jari 30 langkah , tes tidur-bangkit 5-10 kali.
4. Tes
tensilon (edrophonium chloride)
-
Suntikan tensilon 10 mg (1 ml) iv,
secara bertahap. Mula-mula 2 mg atau bila perbaikan (-) dalam 45 dtk, berikan 3
mg lagi atau bila perbaikan (-), beri 5 mg lagi. Efek tensilon akan berakhir
4-5 menit.
-
Efek samping : ventrikel fibrilasi dan
henti jantung.
5. Tes
kolinergik
6. Tes
prostigmin (neostigmin) :
-
Injeksi prostigmin 1,5 mg im.
-
Dapat ditambahkan atropin untuk
mengurangi efek muskariniknyaseperti neusea, vomitus, berkeringat. Perbaikan
terjadi pada 10-15 menit, mencapai puncak dalam 30 menit, berakhir dalam 2-3
jam.
7. Pemeriksaan
EMNG
-
Pada stimulasi berulang 3 Hz terdapat
penurunan amplitudo (decrement respons) > 10% antara stimulasi I dan V. MG
ringan penurunan mencapai 50%. MG sedang sampai berat dapat sampai 80%.
8. Pemeriksaan
antibodi AchR
Antibodi AchR ditemukan
pada 85-90% penderita MG generalisata, dan 0% MG okular. Kadar ini tidak
berkolerasi dengan beratnya penyakit.
9. Evaluasi
timus
-
Sekitar 75% penderita MG didapatkan
timus yang abnomal, terbanyak berupa hiperplasia, sedangkan 15% timoma. Adanya
timoma dapat dilihat dengan CT scan mediastinum, tetapi pada timus hiperplasia
hasil CT scan sering normal.
10. Diagnosis
bandng :
Sindroma Eaton-Lambert
:
-
Sering terjadi bersamaan dengan small
cell Ca dari paru.
-
Lesi terjadi di membran presinaptik
dimana ‘release’ Ach tidak dapat berlangsung dengan baik
Botulism
-
Penyebab : neurotoksin dari Clostridium
botulinum, yang dapat masuk melalui makanan yang terkontaminasi.
-
Dengan cara menghambat atau
menghalang-halangi pelepasan Ach dari ujung terminal akson persinaptik.
11. Pengobatan
§ Mestinon
§ Antikolinesterase
: menghambat dkstruksi Ach
-
Piridostigmin bromide (Mestinon,
regonol). Dosis awal 30-60 mg tiap 6-8 jam atau setiap 3-4 jam. Dosis optimal
bervariasi tergantung kebutuhan mulai 30-120 mg setiap 4 jam. Bila > 120 mg
tiap 3 jam dapat menimbulkan krisis kolinergik (dispneu, miosis, lakrimasi,
hipersalivasi, emesi, diare).
-
H. PENATAKSANAAN
MEDIS
Pengobatan medis dengan obat antikolinesterase adalah terapi
terpilih untuk menetralkan gejala Myastenia Gravis. Neostigmin menon-aktifkan
atau merusak kolinesterase sehingga asetilkolin tidak cepat rusak. Efeknya
adalah pemulihan aktivitas otot mendekati normal, paling tidak 80% hingga 90%
dari kekuatan atau daya tahan otot sebelumnya. Selain neotigmin (prostigmin), pridostigmin (mestinon), dan ambenonium (mytelase), digunakan juga analog
sintetik lain dari obat awal yang digunakan yaitu fisostigmin (eserine). Efek samping dalam traktus GI
yang tidak disenangi (kejang perut, diare) disebut efek samping muskarinik.
Pasien harus menyadari bahwa gejala-gejala ini menandakan sudah terlalu banyak
obat yang diminum setiap hari sehingga dosis selanjutnya harus diturunkan untuk
mencegah terjadinya krisis kolinergik. Neostigmin paling cenderung menyebabkan
efek muskarinik, maka awalnya dapat diterangkan pada pasien untuk berhati-hati
terhadap efek samping yang nyata. Piridostigmin tersedia dalam bentuk yang
berjangka waktu dan sering digunakan sebelum tidur sehingga pasien dapat tidur
sepanjang malam tanpa harus bangun untuk minum obat (Price, 2005).
Efek pengendalian Myastenia Gravis jangka panjang
menyebabkan pasien memiliki dua pilihan terapi dasar. Pilihan pertama adalah
obat imunosupresif, yang semuanya memiliki indeks terapi rendah (rasio dosis
toksik terhadap dosis terapi). Terapi kortikosteroid menyebabkan perbaikan
klinis pada banyak pasien, walaupun banyak efek samping serius terjadi akibat
penggunaan jangka panjang.
Beberapa pasien berespons baik terhadap regimen kombinasi
antara kortikosteroid dan piridostigmin. Azatrioprin (yaitu suatu obat
imunosupresif) telah digunakan dan memiliki hasil yang baik: efek sampingnya
ringan jika dibandingkan dengan akibat kortikosteroid, dan terutama terdiri
dari gangguan GI, peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Pertukaran plasma
mungkin efektif dalam krisis miastenia karena mampu memindahkan antibodi ke
reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat dalam penanganan penyakit kronik.
Pilihan pengobatan jangka panjang kedua adalah bedah toraks
mayor untuk mengangkat kelenjar timus (timektomi). Sekitar 15% penderita
Myastenia Gravis memliki tumor atau hiperplastia kelenjar timus yang disebut
timoma. Timus terlibat dalam perkembangan sistem imun sehingga pengangkatan
kelenjar bersifat kuratif bagi beberapa pasien. Keputusan untuk melakukan
timektomi dibuat berdasarkan pasien tersebut, karena keuntungan timektomi dalam
mengurangi gejala tidak sebesar pada pasien usia tua atau yang telah menderita
Myastenia Gravis lebih dari 5 tahun. Sekitar 30% penderita Myastenia Gravis
tanpa timoma yang menjalani timektomi pada akhirya mengalami remisi
bebas-pengobatan. 50% yang lain mengalami perbaikan nyata (Price, 2005).
I. PENGKAJIAN
-
Identitas klien : Meliputi nama, alamat, umur, jenis
kelamin, status
-
Keluhan utama : Kelemahan otot
-
Riwayat kesehatan : Diagnosa miastenia didasarkan pada
riwayat dan presentasi klinis. Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan
pemulihan kekuatan parsial setelah istirahat sangatlah menunjukkan myastenia
gravis, pasien mungkin mengeluh kelemahan setelah melakukan pekerjaan fisik
yang sederhana . riwayat adanya jatuhnya kelopak mata pada pandangan atas dapat
menjadi signifikan, juga bukti tentang kelemahan otot.
1. B1 (Breathing)
Pengkajian pada sistem pernafasan yaitu inspeksi apakah klien
mengalami kemampuan atau penurunan batuk efektif, produksi sputum, sesak
napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan sering
didapatkan pada klien yang disertai adanya kelemahan otot-otot pernapasan.
Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronchi atau stridor pada klien
menandakan adanya akumulasi sekret pada jalan napas daHn penurunan kemampuan
otot-otot pernapasan.
2. B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular terutama dilakukan untuk
memantau perkembangan status kardiovaskular, terutama denyut nadi dan tekanan
darah yang secara progresif akan berubah sesuai dengan kondisi tidak membaiknya
status pernapasan.
3. B3 (Brain)
Pengkajian terutama ditujukan dengan kelemahan otot ekstra okular yang menyebabkan palsi
ocular, jatuhnya kelopak mata atau dislopia intermien, bicara klien
mungkin disatrik.
4. B4 (Bladder)
Pengkajian terutama ditujukan pada sistem perkemihan. Biasanya
terjadi kondisi dimana fungsi kandung kemih menurun, retensi urine, hilangnya
sensasi saat berkemih.
5. B5 (Bowel)
Pengkajian terutama ditunjukkan dengan kesulitan menelan,
mengunyah, disfagia kelemahan otot diafragma dan peristaltik usus turun.
6. B6 (Bone)
Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui adanya gangguan
aktifitas atau mobilitas fisik, kelemahan otot yang berlebihan.
J.
DIAGNOSA
Berdasarkan data
pengkajian, diagnosa keperawatan meliputi hal berikut :
a) Ketidakefektifan pola
nafas berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan.
b) Gangguan aktivitas
sehari-hari berhubungan dengan kelemahan fisik umum, keletihan.
c) Gangguan
komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia, gangguan pengucapan kata,
gangguan neuromuskular, kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral.
d) Gangguan citra diri
berhubungan dengan ptosis, ketidakmampuan komunikasi verbal
K. INTERVENSI
Diagnosa
1
Ketidakefektifan pola
nafas berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam pola napas klien kembali efektif.
Kriteria
Hasil :
a) Irama, frekuensi dan
kedalaman pernapasan dalam batas normal 16-20x/menit.
b) Bunyi nafas terdengar
jelas.
c) Respirator terpasang
dengan optimal.
Intervensi
|
Rasional
|
a)
Kaji tingkat kemampuan
ventilasi: frekuensi pernapasan, kedalaman, dan bunyi nafas, pantau hasil tes
fungsi paru-paru (volume tidal, kapasitas vital, kekuatan inspirasi).
b)
Kaji kualitas,
frekuensi, dan kedalaman pernapasan, laporkan setiap perubahan yang terjadi.
c)
Baringkan klien dalam
posisi yang nyaman dalam posisi duduk
d)
Observasi tanda-tanda vital
yaitu tekanan darah,
nadi, pernafasan dan suhu.
|
a)
Untuk klien dengan
penurunan kapasitas ventilasi, perawat (mengkaji) dengan interval yang sering
dalam mendeteksi masalah pau-paru, sebelum perubahan kadar gas darah arteri
dan sebelum tampak gejala klinik.
b)
Dengan mengkaji
kualitas, frekuensi, dan kedalaman pernapasan, kita dapat mengetahui sejauh
mana perubahan kondisi klien.
a)
Penurunan diafragma
memperluas daerah dada sehingga ekspansi paru bisa maksimal. Peningkatan RR
dan takikardi merupakan indikasi adanya penurunan fungsi paru.
d)
Peningkatan RR dan
takikardi merupakan indikasi adanya penurunan fungsi paru, Kolaborasi dengan tim
medis dalam pemberian oksigen 3 liter, Mencegah terjadinya
hipoksia.
|
Diagnosa 2 :
Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kelemahan fisik
umum, keletihan.
Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam aktivitas
sehari-hari kembali normal.
Kriteria Hasil
a. Frekuensi nafas 16-20
x/menit,
b. Frekuensi nadi
70-90x/menit,
c. Kemampuan batuk efektif
dapat optimal,
d. Tidak ada tanda peningkatan suhu
tubuh.
Intervensi
|
Rasional
|
a)
Kaji kemampuan klien dalam
melakukan aktivitas
b)
Atur cara beraktivitas
klien sesuai kemampuan.
c)
Evaluasi kemampuan
aktivitas motorik.
|
a)
Menjadi data dasar
dalam melakukan intervensi selanjutnya
b)
Sasaran klien adalah
memperbaiki kekuatan dan daya tahan.
c)
Menjadi partisipan
dalam pengobatan.
|
Diagnosa 3 :
Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia, gangguan
pengucapan kata, gangguan neuromuskular, kehilangan kontrol tonus otot fasial
atau oral.
Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien dapat
menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi, mampu mengekspresikan
perasaannya, mampu menggunakan bahasa isyarat.
Kriteria Hasil
a. Terciptanya suatu
komunikasi dimana kebutuhan klien dapat dipenuhi
b. Klien mampu merespons
setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat
Intervensi
|
Rasional
|
a) Kaji
komunikasi verbal klien.
b) Lakukan
metode komunikasi yang baik sesuai dengan kondisi klien.
c) Beri
peringatan bahwa klien di ruang ini mengalami gangguan berbicara, sediakan
bel khusus bila perlu.
d)
Ucapkan langsung
kepada klien dengan berbicara pelan dan tenang, gunakan pertanyaan dengan
jawaban ”ya” atau ”tidak” dan perhatikan respon klien.
e)
Kolaborasi dengan
konsultasi keahli terapi bicara.
|
a)
Kelemahan otot-otot
bicara klien krisis Myastenia Gravis dapat berakibat pada komunikasi.
b)
Teknik untuk
meningkatkan komunikasi meliputi mendengarkan klien, mengulangi apa yang
mereka coba komunikasikan dengan jelas dan membuktikan yang diinformasikan,
berbicara dengan klien terhadap kedipan mata mereka dan atau goyangkan
jari-jari tangan atau kaki untuk menjawab ya/ tidak.
Setelah periode krisis klien selalu mampu mengenal kebutuhan mereka.
c)
Untuk kenyamanan yang
berhubungan dengan ketidakmampuan komunikasi.
d)
Mengurangi kebingungan
atau kecemasan terhadap banyaknya informasi. Memajukan stimulasi komunikasi
ingatan dan kata-kata.
e)
Mengkaji kemampuan
verbal individual, sensorik, dan motorik, serta fungsi kognitif untuk
mengidentifikasi defisit dan kebutuhan terapi.
|
Diagnosa 4
Gangguan citra diri
berhubungan dengan ptosis, ketidakmampuan komunikasi verbal.
Tujuan
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 3x24 jam citra diri klien meningkat.
Kriteria Hasil
a.
Mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang terdekat
tentang situasi dan perubahan yang sedang terjadi
b.
Mampu menyatakan penerimaan diri terhadap situasi
c.
Mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam kosep diri dengan
cara yang akurat tanpa harga diri yang negatif.
Intervensi
|
Rasional
|
|
a)
Kaji perubahan dari
gangguan persepsi dan hubungan dengan derajat ketidakmampuan.
b)
Identifikasi arti dari kehilangan atau
disfungsi pada klien.
c)
Membantu meningkatkan
perasaan hargadiri dan mengontrol lebih dari satu area kehidupan.
d)
Anjurkan orang yang
terdekat untuk mengizinkan klien melakukan hal untuk dirinya
sebanyak-banyaknya.
e)
Kolaborasi dengan ahli
neuropsikologi dan konseling bila ada indikasi.
|
a)
Menentukan bantuan
individual dalam menyusun rencana perawatan atau pemilihan intervensi.
b)
Beberapa klien dapat
menerima dan mengatur beberapa fungsi secara efektif dengan sedikit
penyesuaian diri, sedangkan yang lain mempunyai kesulitan membandingkan
mengenal dan mengatur kekurangan.
c)
Membantu meningkatkan
perasaan hargadiri dan mengontrol lebih dari satu area kehidupan.
d) Menghidupkan
kembali perasaan kemandirian dan membantu perkembangan harga diri serta
mempengaruhi proses rehabilitasi.
e)
untuk perkembangan
perasaan. Dapat memfasilitasi perubahan peran yang penting
|
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Myastenia Gravis adalah suatu kelainan autoimun
yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang
dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat
beraktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction. Gangguan tersebut akan mempengaruhi
transmisi neuromuscular pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran
seseorang (volunter).
Wanita lebih
sering menderita penyakit ini dibandingkan pria. Rasio perbandingan wanita dan
pria yang menderita Myastenia Gravis adalah 3 : 1. Pada wanita, penyakit ini
tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 20 tahun, sedangkan pada pria,
penyakit ini sering terjadi pada usia 40 tahun. Pada anak, prognosis sangat
bervariasi tetapi relatif lebih baik daripada orang dewasa.
Secara garis besar, pengobatan Myastenia Gravis
berdasarkan 3 prinsip, yaitu:
1.
Mempengaruhi transmisi neuromuskuler
2. Mempengaruhi proses
imunologik
3. Penyesuaian penderita
terhadap kelemahan otot.
B. KRITIK DAN SARAN
Kelompok
kami menyarankan, khususnya
pada semua mahasiswa disarankan untuk mengetahui dan
memahami tentang Myestenia Gravis, sehingga mahasiswa dapat mengerti tentang
Myastenia Gravis dan dapat menghindari penyebab-penyebab dari Myastenia Gravis,
mengetahui tanda dan gejala dari Myastenia Gravis untuk mencegah terjadinya
Myastenia Gravis. Lebih memahami komplikasi yang ditimbulkan dari Myastenia
Gravis dan mahasiswa diharapkan dapat lebih
menggunakan waktu sebaik-baiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Baughman, D. (2000). Keperawatan
Medikal Bedah: Buku Saku. Jakarta: EGC
Chang, E. (2009). Patofisiologi:
Aplikasi pada Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC
Doenges, M. (1999). Rencana
Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC
Price,
S. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC
Setiadi.
(2007). Anatomi dan Fisiologi Manusia.
Yogyakarta: Graha Ilmu
Tucker,
S. et al. (2007). Standar Keperawatan
Pasien: Perencanaan Kolaboratif dan Intervensi
Keperawatan. Jakarta: EGC
Widagdo, et al. (2007). Asuhan
Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta: TIM
No comments:
Post a Comment